Senin, 12 Januari 2015
Atribut yang digunakan oleh ultras
Casuals merupakan salah satu bagian dari budaya didalam sepak bola, yang identik dengan hooligansime dan pakaian-pakaian mahal bermerek. Sub kultur ini lahir pada akhir dekade 70-an, di Britania Raya, dimana ketika itu banyak para hooligan klub-klub sepak bola, mulai mengenakan pakaian-pakaian mahal untuk menghindari perhatian polisi. Mereka tidak lagi mengenakan atribut-atribut beraroma logo-logo klub kesayangan, agar tidak dikenali, sehingga lebih mudah untuk menyusup kelompok musuh dan untuk masuk kedalam pub.Jenis-jenis musik yang disukai oleh para Casuals pada akhir dekade 70-an adalah Oi!, Mod, dan Ska. Tak heran, karena beberapa Casuals itu merupakan pengikut dari sub kultur skinhead, mod, dan rude boy. Pada era 80-an, selera musik Casuals bersifat eklektik alias campur-campur. Pada akhir dekade 80-an dan 90-an awal, mereka cenderung menyukai scene Madchester (co: The Stone Roses), dan Rave. Dan di era 90-an saat sub kultur alternatif baru yang bernama Britpop, yang digunakan untuk melawan arus Grunge, para Casuals ini pun menjadi penggemar Britpop. Ada pengaruh kuat dari budaya Rave terhadap Casuals, rave sendiri cenderung menyerukan perdamaian, sehingga banyak dari Casuals ini yang mengenakan pakaian-pakaian khas mereka, namun justru menjauhkan diri dari tindak hooliganisme. Kadang-kadang banyak band-band yang bergaya Casuals saat dipanggung dan dalam sesi pemotretan, seperti yang dilakukan Damon Albarn dan kawan-kawan di BLUR dalam video “Parklife” Sejak itu Brutal pop khas BLUR (kadang disebut juga indie rock) telah menjadi jenis musik yang paling disukai oleh Casuals.
SEJARAH
Sejak pertengahan dekade 50-an, para pendukung sepak bola di Inggris sudah mulai terpengaruh dengan gaya berpakaian Teddy Boys, yang tumbuh pada masa itu. Dan asal-usul budaya Casuals sendiri dapat dilihat dalam sub kultur Mod pada awal 60-an. Para pemuda pengikut sub kultur Mod, mulai membawa gaya berpakaiannya ke dalam teras sepak bola. Kemudian pengikut-pengikut sub kultur lain seperti Skinhead juga membawa gaya berpakaiannya kedalam teras sepak bola. Ditandai dengan kebangkitan sub kultur Mod pada akhir 70-an, Casuals mulai tumbuh dan berubah setelah pendukung Liverpool, memperkenalkan merek-merek fashion Eropa yang mereka peroleh saat menemani klub kesayangan mereka melawan klub Perancis, Saint Etienne. Para pendukung Liverpool yang menemani klub kesayangan mereka menjalani laga melawan klub-klub Eropa, pulang ke Inggris dengan membawa pakaian-pakaian bermerek dari Italia dan Perancis, yang mereka jarah dari toko-toko.
Pada saat itu, para polisi masih fokus para pendukung yang bergaya Skinhead, dengan sepatu bot khasnya, Dr. Martens, dan tidak memperhatikan para penggemar yang menggunakan pakaian-pakaian mahal karya desainer-desainer ternama. Para pendukung Liverpool kemudian membawa lagi merek-merek pakaian yang tidak pernah dijumpai sebelumnya di Inggris. Dan para pendukung klub-klub lain pun mulai memburu merek-merek Eropa yang masih langka di Inggris. Adapun para pendukung Liverpool masih identik dengan Lacoste Shirt dan Adidas Training hingga saat ini. Label pakaian yang terkait dengan Casuals pada tahun 1980 meliputi: Edinburgh Woollen Mill, Fruit of the Loom, Fila, Stone Island, Fiorucci, Pepe, Benetton, Sergio Tacchini, Ralph Lauren, Henri Lloyd, Lyle & Scott, Adidas, CP Company, Ben Sherman, Fred Perry, Lacoste, Kappa, Pringle, Burberry dan Slazenger. Trend berpakaian terus berubah dan subkultur Casuals mencapai puncaknya pada akhir 1980-an. Dengan lahirnya scene musik Acid House, Rave and Madchester. Dan kekerasan dalam sub kultur Casuals memudar hingga batas tertentu.
1990s and 2000s
Pada pertengahan 1990-an, sub kultur Casuals mengalami kebangkitan besar, tetapi penekanan pada gaya telah sedikit berubah. Banyak para penggemar sepak bola mengadopsi Casuals tampak sebagai semacam seragam, mengidentifikasi bahwa mereka berbeda dari pendukung klub biasa. Merek seperti Stone Island, Aquascutum, Burberry dan CP company terlihat di hampir setiap klub, serta merek-merek klasik favorit seperti Lacoste, Paul & Shark dan Pharabouth. Pada akhir 1990-an, banyak pendukung sepak bola mulai bergerak menjauh dari merek-merek yang dianggap seragam Casuals, karena polisi mulai memerhatikan tindak tanduk Casuals. Selain itu beberapa desainer juga menarik produk-produk mereka setelah tau bahwa produk-produk mereka di pakai oleh Casuals. Meskipun beberapa Casuals terus memakai pakaian Stone Island di tahun 2000-an, banyak dari mereka yang telah mencopot logo kompas Stone Island sehingga merek pakaian mereka menjadi tidak ketahuan. Namun, dengan dua tombol masih menempel, orang yang tahu masih bisa mengenali pakaian Casuals lainnya. Pada akhir 90-an itu beberapa pasukan polisi mencoba untuk menghubungkan logo kompas Stone Island dengan neo-Nazi versi dari salib Celtic. Karena itu, label pakaian baru mulai memperoleh popularitas di antara Casuals. Seperti halnya produk-produk pakaian dari merek-merek ternama yang laku dipasaran, barang palsu yang murah juga mudah didapat. Prada, Façonnable, Hugo Boss, Fake London Genius, One True Saxon, Maharishi, Mandarina Duck, 6.876, dan Dupe telah mulai mendapatkan popularitas luas.
Casual fashion telah mengalami peningkatan popularitas di tahun 2000-an, setelah beberapa band-band Inggris seperti The Streets dan The Mitchell Brothers menggunakan pakaian kasual olahraga dalam video musik mereka. Budaya Casuals pun telah diangkat ke dalam media visual seperti film-film dan program televisi seperti ID, The Firm, Cass, The Real Football Factory dan Green Street Hooligans 1 & 2. Pada tahun 2000-an, label pakaian yang terkait dengan pakaian Casuals termasuk: Stone Island, Adidas Originals, Lyle & Scott, Fred Perry, Armani, Three stroke, Lambretta, Pharabouth dan Lacoste. Namun menjelang akhir dekade 2000-an banyak Casuals yang menggunakan label-label independen seperti Albam, YMC, APC, Folk, Nudie Jeans, Edwin, Garbstore, Engineered Garments, Wood Wood dan Superga. Namun merek besar seperti Lacoste, Ralph Lauren dan CP Company masih popular di kalangan Casuals
ultras di indonesia
Suporter di Indonesia sedang berada dalam periode bertumbuh. Dalam lima
tahun terakhir ini, muncul kelompok-kelompok suporter terorganisir.
Suatu fenomena yang berdampak amat positif bagi perkembangan sepak bola
nasional. Kehadiran kelompok suporter ini sedikit banyak merubah gaya
dukung dan pola perilaku penonton di lapangan. Secara keseluruhan,
berdampak pada industri sepak bola nasional yang lebih semarak dan
berwarna.
Tak bisa dipungkiri aksi-aksi kreatif kelompok suporter di Indonesia ini
mengadopsi gaya suporter luar negeri. Meski di kemudian hari, terjadi
proses kreatif dengan lebih banyak menampilkan produk budaya lokal.
Suporter luar negeri yang menginspirasi itu bisa dari Barras Bravas
(Argentina/Amerika Latin),Roligan (Denmark), Tartan Army (Skotlandia)
dan tentunya Italian Ultras!
Kentalnya budaya ultras bisa dilihat dengan teramat jelas dari atraksi
kelompok suporter kita di lapangan. Mulai dari menempati sisi tribun
tertentu meski tidak selalu di belakang gawang. Namun yang konsisten di
sekitar belakang gawang diantaranya yaitu ,Utras Persija,Orange Street
Boys(Persija),Slemania (PSS Sleman), dan Brajamusti (PSIM Jogjakarta),
sedangkan beberapa kelompok suporter lainnya lebih suka di tribun tengah
menghadap kamera! Menggunakan istilah asing (Ultras) terkadang tidak
juga salah asal mengerti dan paham mengenai istilah tersebut. Ultras
yang dipakai lebih ke mentalitasnya.. nilai2nya... Saat supporter
berdiri 90 menit dan meneriakkan lagu2 pembangkit semangat (bukan lagu2
cacian kepada suatu kelompok), tak peduli hasil yang dicapai,itu juga
merupakan bagian dari nilai2 ultras... saat anda melakukan koreografi2
memukau, itu bagian dari nilai2 ultras..ataupun saat kami bertempur
dengan supporter , itu juga bagian dari nilai2 ultras..yang jelas Ultras
tidak akan menyerang jika tidak diserang terlebih dahulu,tidak akan
menolong jika tidak diperlukan
Tapi nilai2 itu, pastilah tercampur dengan budaya kita sendiri...
terkadang beberapa komunitas di dalam suporter Persija juga menggunakan
istilah ultras, walaupun saat mengaku ultras, mereka dengan bangganya
berfoto2 menunjukkan identitas mereka, ya mungkin itu pemahaman akan
arti ultras oleh mereka...(narsisme)… Di Luar Negri
(Italy,Inggris,German,dll) seorang ULTRAS mungkin tidak punya KTA/ID
Card atau bahkan kelompok tersebut sampai memiliki AD/ART karena mereka
sangat paham arti kata Ultras, alasan mereka datang ke stadion
benar-benar dari Hati dan Jiwanya..bukan juga karena UANG…sedangkan di
INDONESIA UANG adalah alat detok sempurna untuk sebuah loyalitas..Orang
bisa pindah agama,keyakinan,Klub,bahkan Partai.. Bagi saya AGAMA bisa
dipeluk oleh ribuan bahkan jutaan umat,TETAPI SEORANG manusia hanya bisa
PELUK SATU AGAMA, apabila ada yg percaya selain TUHANnya maka disebut
Musyrik Bahkan KAFIR...Team Sepakbola yang saya dukung Bisa didukung
oleh puluhan ribu supporter,TETAPI SEORANG SUPPORTER HANYA BISA MEMILIH
SATU TEAM SEPAKBOLA SAJA...Tetapi jika mendukung lebih dari satu
team,maka bisa disebut orang yang tidak memiliki komitmen atau bahkan
bisa dicap Pengkhianat…maka d iIndonesia muncul slogan seperti SATU
JAKARTA SATU (PERSIJA) ,SALAM SATU JIWA(AREMA) dll. Pendukung suatu klub
tak harus wadah tunggal (seperti Orde Baru). Apalagi saat ini, mereka
(kelompok suporter) melengkapi dengan AD/ART bahkan disahkan dengan akte
notaris segala. Ujung-ujungnya adalah konflik kepentingan dan potensi
dimanfaatkan elit politik. Contoh di SRIWIJAYA FC supporter Singamania
dan Beladas, di Persiba ada PFC dan Balistik, di PERSIJAP ada Banaspati
dan JETMEN,dll
Nah kalo ultras di Indonesia itu yang hebat, terlalu rapi. Kalo diluar
negeri mereka hanya merupakan komunitas ataupun kelompok. Kalo disini,
kebanyakan merupakan organisasi yang memiliki AD/ART. Parahnya
masyarakat awam tidak bisa membedakan yang mana julukan suporter dengan
nama kelompok suporter. Seperti contoh The Jakmania. Yang merupakan
organisasi suporter pendukung Persija, tapi sering diartikan sebagai
julukan untuk menyebut seluruh suporter Persija. Padahal gak semua
suporter Persija adalah anggota The Jakmania. Dan memang tidak semua
klub punya julukan bagi suporter mereka.
Dirijen seperti Yuli Sumpil, yang sohor itu adalah manifestasi seorang
CapoTifoso. Yuli memiliki wibawa seorang CapoTifoso, apabila ia
memerintahkan untuk melakukan suatu gerakan maka akan dipatuhi oleh
suporter termasuk (seandainya) memerintahkan mengintimidasi pemain lawan
dengan lemparan benda-benda, tetapi apabila ia melarang, maka tidak ada
satu pun suporter yang berani melawannya. Walaupun ada yang berpendapat
seorang Yuli Sumpil tidak pantas disebut demikian Karena dia "hanya"
memimpin Aremania. Beda dengan capo tifoso di curva sud atau nord di
Itali misalnya. Yang tidak hanya memimpin kelompoknya, tapi memimpin
seluruh kelompok yang ada di curva itu, untuk membentuk koreo yang
indah..
Belum lagi kostum yang terkoordinir, dan bentangan spanduk yang di
pinggir-pinggir lapangan adalah rasa ultras pada suporter Indonesia.
Sayangnya, prestasi tim nasional dan klub-klubnya tak semanis prestasi
Squadra Azurri dan wakil-wakil Serie A di Eropa. Pahit getir sepak bola
Indonesia terutama sekali saat menilik kelakuan oknum pengurus dibawah
kepemimpinan Yang "Terhormat" Nurdin Halid!
Seorang Ultras sejati tidak memiliki nama -hanya teman dekat yang
mengetahuinya-. Seorang Ultras sejati tidak dikenal oleh orang lain,
kepalanya selalu tertutup oleh “hood”, hidung dan mulutnya selalu
ditutup oleh syal. Seorang Ultras sejati tidak mengikuti mode dan hal
teranyar lainnya. Saat seorang Ultra berjalan dikeramaian, kendati tanpa
logo supporter, dia akan mudah dikenal orang lain.
Seorang Ultra sejati hanya menyerang jika diserang dan akan menolong
jika diperlukan. Seorang Ultra sejati tidak akan berhenti kendati tiba
di rumah dan membuka syalnya. Ultra Sejati akan selalu bertarung tujuh
hari dalam seminggu.
Ultra tua akan memimpin dan memberikan contoh kepada yang muda. Ultra
muda harus memberikan rasa hormat kepada yang tua. Ultra muda akan
merasa bangga jika berdiri berdampingan dengan yang tua, mereka akan
belajar dari kritikan si tua. Yang muda akan bersemangat jika mendapat
jabatan tangan erat dari yang tua.
Saat orang normal melihat tingkah laku Ultra, mereka tidak akan
mengerti, tetapi Ultra memang tidak ingin dimengerti atau menjelaskan
arti keberadaan mereka. Setiap Ultra berbeda; ada yang mengenakan logo
supporter atau tim ada juga yang tidak pernah menggunakan keduanya. Ada
yang bepergian dalam sebuah kelompok ada yang pergi secara individu.
Kendati berbeda, satu hal yang membuat mereka bersatu adalah kecintaan
terhadap klub, hasrat mereka untuk berdiri selama 90 menit tidak peduli
hujan atau dingin. Mereka bersatu dan menghangatkan diri dengan teriakan
keras dan serempak, bersatu kendati tertidur setengah mabuk di sebuah
kereta atau bis yang membawa mereka pada pertandingan tandang, bersatu
karena konvoi di pusat kota tim lawan, bersatu karena berbagi sedikit
makanan setelah berjam-jam menahan rasa lapar, bersatu karena berbagi
sebatang rokok, bersatu karena berpenampilan sama, bersatu karena
idealisme, bersatu karena memiliki MENTALITAS yang sama.
Semua hal diatas menyatukan kami sekaligus menjauhkan kami dari bagian
dunia yang lain; dari orang tua yang khawatir, dari sepupu yang bodoh,
dari teman sekolah atau rekan kerja, dari guru atau bos yang tidak
memiliki rasa toleransi. Ultras tidak pernah melakukan vandalisme atau
kekerasan tanpa alasan. Ini hanya cara untuk bertahan dari hidup yang
sudah terkena krisis masalah sosial, acara televisi yang bodoh, disko
yang terus menerus menarik anak muda dan terpenting tindakan represif
yang tidak dapat dibenarkan (polisi dan federasi).
Menjadi Ultra adalah seperti ini dan masih banyak lainnya seperti emosi
dan hasrat yang tidak dapat dijelaskan kepada orang lain yang tidak mau
mengerti atau kepada orang yang biasa memutar kepala dan melanjutkan
hidup di balik kaca, orang yang tidak memilik cukup NYALI untuk
menghancurkan kaca dan memasuki DUNIA KITA!
Ultras.. Sebuah kata yang akhir2 ini sangat sering disebut oleh media2
di tanah air seiring dengan banyaknya tindakkan hooliganisme yang
dilakukan beberapa kelompok ultras di Italia. Sangat lucu sekali membaca
beberapa comment di media yang menyebutkan bahwa ultras memiliki arti
'garis keras' yang selalu di indentikkan dengan hooliganisme. Tapi apa
mau dikata, begitulah media, begitulah jurnalis, mereka hanya bisa
menulis apa yang bisa mereka lihat tanpa harus benar2 mengerti dan
benar2 memahami objek yang mereka jadikan berita.
Perlu sedikit diluruskan mengenai makna kata 'ultras' sendiri. Ultras
bukan nama, Ultras adalah istilah.. sama dengan kata hooligan yang juga
merupakan sebuah istilah. Kata ultras sendiri berasal dari suku kata
Ultra yang dalam bentuk kata sifat berarti ekstrim dan dalam kata benda
berarti ekstrimis penambahan huruf s sebagai penunjuk bentuk jamak
(kelompok). Kata ekstrim sendiri berarti 'yang ter-'. 'yang paling'.
'melebihi yang lain', atau 'lebih dari biasa'. Bila dihubungkan dengan
konteks supporter bisa dikatakan bahwa ultras berarti kelompok supporter
yang memiliki fanatisme, rasa cinta, dan dukungan yang lebih dari
supporter biasa. Sedangkan Hooligan sendiri adalah istilah yang berarti
'perusuh' atau 'suka berbuat onar'.
Ciri2 kelompok supporter Ultras adalah Selalu bernyanyi mendukung
kesebelasan kebanggaanya, mendukung tim mereka baik dikandang sendiri
maupun dikandang lawan, dan tak pernah meninggalkan tim kebanggannya
baik saat jaya maupun saat terpuruk. Dari ciri2 kelompok ultras
sendiri bisa dikatakan bahwa hampir semua kelompok supporter di
Indonesia adalah Ultras. Slemania itu ultras, The Jak itu ultras,
Aremania itu ultras. klompok supporter lainnya juga ultras. Walau mereka
tidak ada embel2 kata ultras dalam organisasi mereka tapi istilah
ultras tetap mereka sandang karena mereka semua memiliki karakter dan
mentalitas ultras. Meski demikian, ada banyak juga kelompok supporter
(termasuk kami sendiri) yang menggunakan kata ultras sebagai nama
kelompok mereka.
Jadi bisa disimpulkan bahwa Ultras dan Hooligans adalah dua istilah yang
berbeda dengan pengertian yang berbeda pula. Hampir semua hooligans
adalah Ultras, tapi tidak semua Ultras adalah hooligans..!!
HOOLIGANS adalah fans sepakbola yang brutal ketika tim idolanya kalah
bertanding. Hooligan merupakan stereotif supporter sepakbola dari
Inggris, namun akhi-akhir ini menjadi fenomena dunia termasuk negara
Indonesia sendiri. Sebagian besar dari hooligan adalah para backpacker
yang berpengalaman dalam melakukan sebuah perjalanan. Tidak sedikit dari
mereka yang sering keluar-masuk penjara karena sering terlibat dalam
sebuah bentrokan. Mereka jarang menggunakan pakaian yang sama dengan tim
pujaannya agar tidak terdeksi kehadiran mereka oleh pihak aparat. Meski
demikian, keunggulan dari hooligan ini mereka paling anti menggunakan
senjata dalam melakukan sebuah duel, karena menurut mereka itu hanyalah
sebuah cara yang dilakukan oleh sekelompok banci.
Diantara Supporter Persija ada juga yang memang lahir dari komunitas
hardmods, bootbois, skinhead, rudeboys, casuals, dll.. dan membentuk
suatu kelompok yang disebut Persija FIRM (Tiger Boys) seperti di
Inggris, namun disisi lain mereka membakar flare dan membuat syal
komunitas, ya mungkin itu kreatifitas mereka, karena mengikuti suatu
kultur, lagipula tidak berarti harus mengikuti semua pakem bakunya.
(berbagai sumber)
Pengertian ultras
Ultras (Latin berasal dari kata ultra,[1] makna luar dalam
bahasa Inggris, dengan implikasi bahwa antusiasme mereka adalah 'luar'
normal) adalah bentuk pendukung tim olahraga terkenal karena dukungan
fanatik mereka dan menampilkan rumit. Mereka sebagian besar adalah Eropa pengikut sepak bola tim. Kecenderungan perilaku kelompok ultras termasuk penggunaan suar-terutama di tifo -,
vokal dukungan koreografi dalam kelompok besar, bertentangan dengan
otoritas dan tampilan banner di stadion sepak bola, yang digunakan untuk
menciptakan suasana yang mengintimidasi pemain lawan dan pendukung ,
serta mendorong tim mereka sendiri.Konsisten saingan dengan pendukung lawan, ultras kelompok sering diidentifikasi dengan tim masing-masing. Tindakan kelompok penggemar ultra kadang-kadang bisa terlalu ekstrim dan kadang-kadang dipengaruhi oleh kekerasan rasial, ideologi politik, kota derbies silang antar klub dari kota yang sama, dan bahkan dari pertunjukan miskin oleh tim.
Langganan:
Postingan (Atom)